“ROKOK”
Sudah
menjadi rahasia umum rokok merupakan “pembunuh berdarah dingin” kelas dunia.
Rokok dengan perlahan-lahan mengurangi umur seseorang tanpa disadari. Kematian
akibat rokok di Indonesia sendiri menempati urutan ketiga setelah China dan
India. Rokok tak pandang bulu dalam menghancurkan hidup manusia, laki-laki
maupun perempuan, balita maupun manula, kurus maupun gemuk, kaya maupun miskin
semua “diembat”. Perusahaan rokok seakan tidak peduli terhadap realitas yang
terjadi di lapangan.
Di sisi lain, CSR(Corporate Social Responsibility) rokok semakin kuat menancapkan kukunya ke sendi-sendi kehidupan masyarakat. CSR rokok hadir bak seorang malaikat di dongeng-dongeng. CSR rokok menawarkan program-program sosial kepada masyarakat yang mampu meringankan beban yang sedang ditanggung oleh masyarakat. Alhasil, citra rokok yang sebenarnya negatif mampu tertutupi oleh keberadaan CSR tersebut.
CSR rokok sering dipisahkan dari perusahaan rokok itu sendiri dan dibentuk dalam sebuah yayasan. Hal inilah yang agak mengaburkan eksistensi dari yayasan itu sendiri sebagai CSR itu sendiri. Yang jelas brand dari suatu perusahaan rokok juga tercantum dalam nama yayasan tersebut. Sebut saja perusahaan rokok X dengan CSR-nya adalah X Foundation. Sebagian orang menganggap perusahaan rokok X dan X Foundation adalah dua hal yang berbeda dan tidak/belum tentu berhubungan. Dari namanya saja sudah hampir dapat dipastikan bahwa X Foundation merupakan CSR perusahaan rokok X. Tidak mungkin kalau seandainya brand yang dicantumkan dalam nama yayasan tersebut tidak ada maksud dan hubungannya.
X Foundation juga menawarkan program pendidikan berupa beasiswa dan pembangunan fasilitas yang nantinya akan juga berimbas pada instansi pendidikan terkait. Perusahaan rokok X akan semakin mudah “menyetir” instansi tersebut dalam menyelenggarakan suatu event di lingkungan instansi pendidikan tersebut. Tentunya hal ini sangat disayangkan. Seolah-olah para intelektual yang berkecimpung di instansi tersebut buta akan bahaya sebenarnya dari rokok itu sendiri.
Memang sepintas program tersebut membantu meringankan beban pendidikan di Indonesia, akan tetapi mari melihat dari sisi yang lain. Berapa banyak anak yang tidak bersekolah karena ayahnya memilih menkonsumsi rokok. “Kebudayaan” yang buruk terus dipupuk oleh perusahaan rokok. Semakin rendah posisi dalam piramida ekonomi, semakin besar proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi rokok. Karena itu semua tidak dikelola, maka perusahaan tidak bisa dianggap bertanggung jawab sosial. Aktivitas sosial industri rokok terlampau kecil untuk mengkompensasi masalah yang ditimbulkannya.
Pada perkembangan selanjutnya, muncul paradigma baru tentang CSR itu sendiri. Tujuan utama perusahaan adalah memperoleh keuntungan dari bisnisnya. Dengan melakukan CSR tujuan ini dapat terpenuhi.
Telah ditunjukkan oleh banyak studi kasus, perusahaan memperoleh banyak keuntungan bila keberadaan jangka panjangnya terjamin. Keberlangsungan perusahaan ini erat berkait dengan reputasi, yang diperoleh melalui hubungan baik dengan seluruh pemangku kepentingan. Di era ini hampir mustahil perusahaan menggunakan perlindungan kekuatan-kekuatan represif tanpa mengorbankan reputasinya. CSR menjadi pilihan menjaga keberlanjutan eksistensi perusahaan melalui reputasi yang baik dan bukan hubungan dengan kekuatan represif. Jika perusahaan hanya mementingkan keuntungan finansial pada jangka pendek dan mengorbankan aspek-aspek sosial dan lingkungan yang terjadi sehingga yang terjadi adalah ketidakpedulian terhadap aspek sosial akan menuai protes masyarakat yang bisa mengganggu kelacaran dari operasional dari suatu organisasi atau perusahaan (semisal demonstrasi atau boikot).
Terhadap aspek lingkungan, selain reaksi masyarakat, disinsentif juga diterima disinsentif dari pemerintah. Akibatnya, selain biaya operasi membengkak, reputasi perusahaan tercoreng dan pada gilirannya dicerminkan dengan turunnya nilai saham. Implikasi berikut yang mengancam adalah keengganan investor membiayai proyek baru. Maka dari sudut pandang ini, CSR dengan triple bottom line-nya tentu adalah investasi sangat berharga.
Di sisi lain, penggunaan investasi sosial dari CSR suatu perusahaan sangat berpotensi untuk menimbulkan korupsi pada lembaga-lembaga pemerintahan atau instansi yang sedang disokong oleh CSR tersebut. Misalnya, ketika diketahui perusahaan rokok tertentu hendak membangun fasilitas di sebuah instansi melalui CSR-nya dan pihak-pihak yang berkepentingan di instansi tersebut juga mengajukan anggaran untuk membangun fasilitas tersebut. Fasilitas yang dibangun dari investasi sosial CSR rokok, nyatanya diakui sebagai proyek pembangunan oleh pihak-pihak yang berkepentingan di instansi tersebut.
Jika dianalisis lebih mendalam lagi, di mata internasional, CSR rokok hampir-hampir tidak diakui. Terlalu banyak pelanggaran atas definisi, prinsip dan subjek inti ISO 26000. Para CSR dan aktivis SRI juga sepakat dalam hal ini. Bukti nyata ada dalam survei-survei pemangku kepentingan skala global tahun 2007, industri rokok dianggap industri dengan kinerja CSR paling rendah, bahkan tidak bisa masuk kategori bertanggung jawab sosial. Pada tahun 2011 kemarin rokok sudah hilang dalam penilaian kinerja CSR (SustainAbility and GlobeScan, 2011). Karena regulasi di Indonesia tak cukup melindungi masyarakat, maka regulasi global harus dipenuhi oleh perusahaan rokok di Indonesia, tetapi perusahaan rokok di Indonesia tidak mengindahkannya.
Referensi :
Presentasi Lingkar Studi CSR dalam diskusi CSR Industri Rokok di Komnas Perlindungan Anak, Jakarta 20 Januari 2012
http://www.scribd.com/doc/5068507/Keuntungan-bagi-organisasi-menerapkan-CSR
Di sisi lain, CSR(Corporate Social Responsibility) rokok semakin kuat menancapkan kukunya ke sendi-sendi kehidupan masyarakat. CSR rokok hadir bak seorang malaikat di dongeng-dongeng. CSR rokok menawarkan program-program sosial kepada masyarakat yang mampu meringankan beban yang sedang ditanggung oleh masyarakat. Alhasil, citra rokok yang sebenarnya negatif mampu tertutupi oleh keberadaan CSR tersebut.
CSR rokok sering dipisahkan dari perusahaan rokok itu sendiri dan dibentuk dalam sebuah yayasan. Hal inilah yang agak mengaburkan eksistensi dari yayasan itu sendiri sebagai CSR itu sendiri. Yang jelas brand dari suatu perusahaan rokok juga tercantum dalam nama yayasan tersebut. Sebut saja perusahaan rokok X dengan CSR-nya adalah X Foundation. Sebagian orang menganggap perusahaan rokok X dan X Foundation adalah dua hal yang berbeda dan tidak/belum tentu berhubungan. Dari namanya saja sudah hampir dapat dipastikan bahwa X Foundation merupakan CSR perusahaan rokok X. Tidak mungkin kalau seandainya brand yang dicantumkan dalam nama yayasan tersebut tidak ada maksud dan hubungannya.
X Foundation juga menawarkan program pendidikan berupa beasiswa dan pembangunan fasilitas yang nantinya akan juga berimbas pada instansi pendidikan terkait. Perusahaan rokok X akan semakin mudah “menyetir” instansi tersebut dalam menyelenggarakan suatu event di lingkungan instansi pendidikan tersebut. Tentunya hal ini sangat disayangkan. Seolah-olah para intelektual yang berkecimpung di instansi tersebut buta akan bahaya sebenarnya dari rokok itu sendiri.
Memang sepintas program tersebut membantu meringankan beban pendidikan di Indonesia, akan tetapi mari melihat dari sisi yang lain. Berapa banyak anak yang tidak bersekolah karena ayahnya memilih menkonsumsi rokok. “Kebudayaan” yang buruk terus dipupuk oleh perusahaan rokok. Semakin rendah posisi dalam piramida ekonomi, semakin besar proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi rokok. Karena itu semua tidak dikelola, maka perusahaan tidak bisa dianggap bertanggung jawab sosial. Aktivitas sosial industri rokok terlampau kecil untuk mengkompensasi masalah yang ditimbulkannya.
Pada perkembangan selanjutnya, muncul paradigma baru tentang CSR itu sendiri. Tujuan utama perusahaan adalah memperoleh keuntungan dari bisnisnya. Dengan melakukan CSR tujuan ini dapat terpenuhi.
Telah ditunjukkan oleh banyak studi kasus, perusahaan memperoleh banyak keuntungan bila keberadaan jangka panjangnya terjamin. Keberlangsungan perusahaan ini erat berkait dengan reputasi, yang diperoleh melalui hubungan baik dengan seluruh pemangku kepentingan. Di era ini hampir mustahil perusahaan menggunakan perlindungan kekuatan-kekuatan represif tanpa mengorbankan reputasinya. CSR menjadi pilihan menjaga keberlanjutan eksistensi perusahaan melalui reputasi yang baik dan bukan hubungan dengan kekuatan represif. Jika perusahaan hanya mementingkan keuntungan finansial pada jangka pendek dan mengorbankan aspek-aspek sosial dan lingkungan yang terjadi sehingga yang terjadi adalah ketidakpedulian terhadap aspek sosial akan menuai protes masyarakat yang bisa mengganggu kelacaran dari operasional dari suatu organisasi atau perusahaan (semisal demonstrasi atau boikot).
Terhadap aspek lingkungan, selain reaksi masyarakat, disinsentif juga diterima disinsentif dari pemerintah. Akibatnya, selain biaya operasi membengkak, reputasi perusahaan tercoreng dan pada gilirannya dicerminkan dengan turunnya nilai saham. Implikasi berikut yang mengancam adalah keengganan investor membiayai proyek baru. Maka dari sudut pandang ini, CSR dengan triple bottom line-nya tentu adalah investasi sangat berharga.
Di sisi lain, penggunaan investasi sosial dari CSR suatu perusahaan sangat berpotensi untuk menimbulkan korupsi pada lembaga-lembaga pemerintahan atau instansi yang sedang disokong oleh CSR tersebut. Misalnya, ketika diketahui perusahaan rokok tertentu hendak membangun fasilitas di sebuah instansi melalui CSR-nya dan pihak-pihak yang berkepentingan di instansi tersebut juga mengajukan anggaran untuk membangun fasilitas tersebut. Fasilitas yang dibangun dari investasi sosial CSR rokok, nyatanya diakui sebagai proyek pembangunan oleh pihak-pihak yang berkepentingan di instansi tersebut.
Jika dianalisis lebih mendalam lagi, di mata internasional, CSR rokok hampir-hampir tidak diakui. Terlalu banyak pelanggaran atas definisi, prinsip dan subjek inti ISO 26000. Para CSR dan aktivis SRI juga sepakat dalam hal ini. Bukti nyata ada dalam survei-survei pemangku kepentingan skala global tahun 2007, industri rokok dianggap industri dengan kinerja CSR paling rendah, bahkan tidak bisa masuk kategori bertanggung jawab sosial. Pada tahun 2011 kemarin rokok sudah hilang dalam penilaian kinerja CSR (SustainAbility and GlobeScan, 2011). Karena regulasi di Indonesia tak cukup melindungi masyarakat, maka regulasi global harus dipenuhi oleh perusahaan rokok di Indonesia, tetapi perusahaan rokok di Indonesia tidak mengindahkannya.
Referensi :
Presentasi Lingkar Studi CSR dalam diskusi CSR Industri Rokok di Komnas Perlindungan Anak, Jakarta 20 Januari 2012
http://www.scribd.com/doc/5068507/Keuntungan-bagi-organisasi-menerapkan-CSR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar